Aku bersekolah di salah satu SMA di Bukittinggi. Tepatnya di kelas 2 IPA 1. Aku mempunyai teman yang bernama Rini, Amelia, dan Fitria. Kami sangat akrab berempat. Asal ada acara apapun, kami berempat selalu pergi.
Suatu ketika, aku membuat madding untuk sekolahku. Karena aku boleh dikatakan aktif dalam segala hal. Terutama kegiatan OSIS, apalagi guru bahasaku sangat sayang padaku.
Sewaktu aku mengerjakan madding di ruangan OSIS, aku dikejutkan oleh seseorang yang tampan, gagah dan baik hati. Dia merupakan incaran bagi setiap wanita. Dia memberikan sebuah aplop berwarna merah jingga kepadaku. Aku heran, kenapa amplop itu, untukku. Padahal temanku Rini, menunggu-nunggu surat itu.
Aku enek, dan terus asyik mengerjakan madingku. Tapi dalam hatiku, beribu pertanyaan timbul di benakku. Diantaranya, kok untukku surat itu? Apa benar surat itu buatku, atau hanya sekedar April mob.
Tiba-tiba Rini menghampiriku.
“Hai, Hani. Sibuk benar hari ini?”.
“Ah, ndak, jawabku.
“Tumben kau datang ke sini, ndak biasa-biasanya?”.
“Ya, aku kepingan lihatin kamu ngerjain madding, bolehkan?”.
“Boleh aja, asal ndak macem-macem”, seloroku.
Padahal pikiranku belum tenang, apalagi dengan kedatangan Rini, bertambah kacau pikiranku. Aku takut, kalau-kalau Rini mengetahui akan surat itu. Tapi aku berusaha pura-pura tenang.
“Hani, ini ada surat, dari siapa?”, tanya Rini.
“O. . ., itu surat dari sahabat lamaku”.
“Boleh kubaca?”.
“Jangan-jangan!, nanti meledak boom yang ada di dalamnya”, candaku.
Sekilat petir kusambar surat itu dari tangannya.
“Maaf ya, Rini! Yang satu ini, jangan dibaca dong, maluin aku”.
Lho. . . kita kan bersahabat, kok nggak boleh kubaca? Katanya sakit satu, sakit semua, senang satu, senang semua.Nyatanya? Ha. . .ha. . .ha. . .”, tawa Rini.
Mukaku memerah, aku jadi salah tingkah, bahkan madingku celepotan.Wah, ini berabe, mati aku, nanti dimarahi oleh guru bahasaku.
Aku ndak konsentrasi untuk bekerja, semua bahan madding kusimpan.Dan aku pamit pulang.
“Rini, aku duluan pulang, ya. Capek”.
Aku bergegas meninggalkan ruangan OSIS. Aku naik angkot menuju rumah. Setiba di rumah, kubaca surat tadi.
Buat sosok wanita mungil.
Telah lama aku mengamatimu dan bertanya-tanya pada teman dekatku. Ternyata kamulah wanita idamanku.
Maaf, kalau aku terlalu lancang menulis surat ini.
Dari : Arsilman
Setelah kubaca surat itu, aku seolah-olah berada di awang-awang, antara langit dan bumi. Bahkan jantungku terasa berhenti bergetar.Seolah-olah ikut merasakan kebahagiaanku.
Kulipat surat itu dan kumasukkan ke dalam amplopnya lalu kuletakkan di bawah bantal.
Malam hari, mataku ndak mau kupejamkan, ingatanku selalu kepada Arsil. Beribu pertanyaan muncul lagi dalam benakku. Apakah pura-pura atau main-main atau melecehkanku. Ah, entahlah. . . . .
Esok harinya, aku tertidur dan tidak sempat sarapan pagi. Buru-buru aku ke sekolah. Setiba di sekolah, aku harus bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Pak guru Kimia mulai menerangkan pelajaran. Tapi aku tak sanggup memusatkan perhatian pada Pak Ahmad. Ingatanku selalu tertuju pada surat tadi malam.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh lemparan tutup spidol ke arahku. Aku tersentak.
“Hani! Kamu lagi mikiran siapa? Tanya Pak Ahmad.
“Ndak Pak, ndak mikirin siapa-siapa, jawab Hani.
“Are you understand about my topic today? Tanya Pak Ahmad.
“Yes, I am, Pak”.
“Kalau begitu, please you answered no 5 ke depan”, kata Pak Ahmad.
Mendengar perintah itu, aku kelabakan, apa yang harus aku buat. Padahal semua yang dijelaskan Pak Ahmad, aku tidak paham.
Dengan kaki gemetar, aku kuatkan semangatku, aku harus bisa mengerjakannya.
Tanpa kusangka, cowok yang memberikan surat itu, memberikan jawabannya kepadaku dengan melemparkan secarik kertas di mejaku.
Lalu kutulis jawaban itu ke depan. Al hasil, aku ndak jadi kena marah.
“Ne e e e e e t, ne e e e e e t,” bunyi bel istirahat. Kami ke luar menuju kantin. Sebahagian teman, ada yang duduk di pelantaran lokal.
Aku, Rini, Amelia dan Fitria masuk kafe.
“Bu, bubur sum-sum 4, Buk”.
“Ya, Nak”.
Kami makan bubur dengan lahabnya. setelah itu kami duduk di bawah pohon akasia yang rindang. Bahkan angin sepoi-sepoipun menghampiriku. Gelak, tawa, canda Hani sangat lepas, seolah-olah dunia milik Hani.
Tiba-tiba, cowok itu muncul dihadapan Hani.
“Arsil, beliin dong es krim untuk Hani,” kata Rini.”
“Mana duitnya?” ucap Arsil.
“Lho, kamu kan anak babe, masak nggak punya duit, malu dong,” ocehan Rini.
Kami diberikan es krim, tba-tiba bel berbunyi lagi!
Dengan diam-diam, aku melirik wajah Arsil, kenapa sih dia nulis surat untukku? Padahal banyak wanita cantik yang mendambakannya. Aku selalu memperhatikan gerak-geriknya.
Tiba-tiba, secarik kertas datang lagi ke mejaku. Lalu kubaca, isinya minta jawaban dariku. Aku nggak membalasnya, aku hanya diam saja.
Net. . . net. . . net!
Bel pulang berbunyi, kami keluar dari kelas. Suara kami seperti gemuruh ombak di tepi pantai.
Aku, Rini, Fitria dan Amelia barengan pulang. Kami tidak naik angkot, tapi jalan kaki menuju rumah masing-masing. Di dalam perjalanan kami bercerita macam-macam, termasuk menceritakan Arsil. Sebab Rini sangat menaruh cinta yang dalam kepada Arsil. Rini selalu memuji-muji keberadaan Arsil. Kalau aku ceritakan isi surat itu kepada mereka, tentu persahabatan kami akan pecah.
Di persimpangan jalan, datang sebuah mobil berhenti dihadapan kami. Kami kaget, ternyata di atas mobil itu adalah Arsil.
Hai Arsil, kamu ke mana? Tanya Rini.
Nggak kemana-mana.
Aku akan pulang, tapi tadi aku ketemu sama saudara Hani, bahwa kakaknya menyuruh cepat pulang.
Lalu, bagaimana Hani, mau sama aku pulang? tanya Arsil.
Mendengar berita tu, aku mengangguk.
Maaf ya kawan-kawan, aku duluan pulang ya? Kata Hani.
Mobil kami melaju meninggalkan Rini, Amelia dan Fitria.
Aku bungkam seribu kata di atas mobil. Dia juga begitu. Lalu, aku mulai bercanda menghilangkan perasaan tadi malam.
Emang kita mau kemana, sih? Kok mobil nggak menuju ke rumahku?
Ah. . . diam ajalah, aku kepingin ngajak kamu ke restoran.
Lho, katanya kakakku menyuruh cepat pulang, tapi. . . . !!
Ah. . .itu Cuma basa-basi terhadap cewek-cewek cantik tadi.
“Siapa cewek cantik?”
“ya. . . temanmu tadi”.
“ha. . . ha. . . ha. . . “,tawaku.
Kami berhenti di sebuah restoran mewah di kotaku. Restoran itu tak pernah kutempuh. Maklumlah kehidupanku sangat sederhana.
Aku diajak masuk dan duduk di pojok lantai II. Dai minta minuman dan makanan yang disukainya.
Aku diam aja!
Sementara pesanan datang, Arsil memulai pembicaraannya.
“Hani, sudah dibaca suratku?”
“Sudah”.
“Mana jawabnya?”
“Aku ndak bisa menjawabnya, sebab Rini mengharapkan cintamu”.
“Siapa? Rini, cewek cantik itu. Ha. . .ha. . . ha, tawa Arsil.
“Aku serius, sumpah!” kata Arsil.
“Aku juga serius, bahwasanya aku nggak bisa pacaran dengan kamu, karena. . . satu, kamu anak babe, dua, kamu enceran semua wanita di sekolah.
Kami terdiam sesaat, minuman yang disuguhkan pelayan tadi, belum kami cicipi.
Tak di sangka-sangka datang kakakku yang membawa keluarganya makan siang di restoran itu.
Aku takut dan sangat takut. Karena kakakku tidak mengizinkan aku untuk pacaran. Apalagi dengan anak babe.
“Arsil, yuk kita pulang”.
“Kok buru-buru,” Tanya Arsil.
“Ssssstttt, ada kakakku,” bisik Hani.
“Ah. . . nggak apa-apa”.
“Emangnya kamu nggak takut?”
“Nggak!” jawab Arsil dengan santai.
“Nanti kita kena marah, ayok pulang!
“Itu yang kutunggu-tunggu, agar kakakmu marah dan akan dimintanya untuk bertanggung jawab.
“Emangnya kamu serius?”
“Ia. . . ia, aku serius, kalau aku main-main, tentu aku takut dengan kakakmu. Bahkan aku ingin berkenalan dengannya.
Mendengar jawaban itu, aku menjadi beribu pertanyaan lagi dalam benakku. Salah satunya, apakah benar dia sungguhan denganku, dan apakah orang tuanya merestui hubungan kami. Ah. . . lamunanku.
Tiba-tiba, senyum manis tersungging di bibirnya sewaktu dia memberikan jus strobery padaku. Aku kaget. Dalam bola matanya, aku bisa membaca, bahwa dia memang mencintaiku.
Aku minum jus itu, sambil dia bertanya dengan manja, mau kan menerimaku?
Aku jawab,”ya. . .”, tapi dengan syaratnya.
“Apa syaratnya?” Tanya Arsil.
“Kamu tidak boleh memberitahukan kepada siapapun, apalagi teman sekelas”.
“Okey. . .! saya terima syaratnya.
Lalu kami berjabat tangan menandakan kami berpacaran.
Tak lama kemudian, kami meniggalkan restoran, dan Arsil mengantarkanku pulang.
Setiba aku di rumah, hatiku berbunga-bunga, seolah dunia ini milikku.
Malam telah tiba, angin membawa ingatanku pada Arsil. Maklum, cinta pertamaku. Aku dibuai oleh lamunan yang tak mau putus. Mataku tak mau terpejam. Masih berada dalam ingatanku saat dia memberikan jus stroberynya padaku. Bola matanya yang biru, sunggingan senyumnya, wajah yang tampan, anak orang kaya dan yang tak bisa kulupakan adalah dia mempunyai kepribadian yang sangat baik.
Tamat...
hmmm.....ceritanya bagus buk.....
BalasHapuslucu dan menarik buk....
hmm,kalo bisa lnjutin jadi cerbung ato novel buk...hehehe^_^
Hebat buk, enak dibaca..kalau ada cerpen, kisah, cerita yang menarik lainnya ibuk bisa kirimkan ke email smantikaagam@blog-smantika.com dan akan dipublish, buk.
BalasHapuspostingan yang menarik, apalagi pengalaman pribadi kayaknya hehehehe....pasti terkenang selalu
BalasHapussalam sukses dari kami alatlabperaga.com
Cerpen buk Hanifah sesuatu bngeeeeeett...hehe
BalasHapusits great!!!
BalasHapustapi tambah sambungan nya buk ^_^
Asik ceritanya buk .....
BalasHapusMoga ada cerita cerita yang lain ...